Ada apa dengan liqo’ tarbiyah? Istilah liqo’ tarbiyah akhir-akhir
ini menjadi pembahasan yang sering diperbincangkan baik di dunia nyata apalagi
di dunia maya saat ini. Saya sendiri pertama kali mendengar kata liqo’ tarbiyah
ini sejak tahun 2013 lalu di kampus.
Waktu itu di Universitas Sulawesi Barat Majene.
Saya sedikit ingin menuangkan isi pikiran saya di hari yang
melelahkan ini tentang Liqo’ Tarbiyah.
Istilah liqo’ tarbiyah atau tarbiyah ini berasal dari bahasa Arab
yang berarti pendidikan (secara spesifik mengajarkan tentang ilmu-ilmu syar’i),
orang yang mendidik dinamakan murabbi dan orang yang di didik disebut mutarabbi.
Saya sendiri saat ini telah masuk tahun ke5 menjadi peserta didik (mutarabbi)
dalam tarbiyah ini. Iya, saya mengenalnya dari ormas islam Wahdah Islamiyah dan
orang yang menjadi pendidik (murabbi) –nya pun adalah ustadz dari Wahdah Islamiyah. Ikut dalam liqo’ tarbiyah inipun awalnya iseng-iseng setelah
seringnya mendapatkan undangan ta’lim dari para senior yang setiap pekannya mengirimkan
info ta’lim di kampus lewat SMS. Waktu datang pertama kali di markas dakwah Wahdah Islamiyah, saya sendiri kagum dengan sambutan mereka yang antusias dengan
kehadiran saya, padahal saat itu saya agak minder duduk bermajelis dengan
mereka karena pakaian saya yang saat itu ala-ala mahasiswa. Tapi begitulah
karakter mereka dalam memperhatikan objek dakwahnya. Terlebih saat saya sedang
sakit di kost waktu itu, dimana saya hanya tingal sendiri jauh dari orang tua,
mereka bergantian datang, mulai dari sekedar memijit belakang saya :) sampai membawakan makanan. :) :)
Perhatian mereka yang baru saya kenal sehari itulah awal saya jatuh cinta dengan ukhuwah yang dibangun di lembaga dakwah yang satu ini.
Perhatian mereka yang baru saya kenal sehari itulah awal saya jatuh cinta dengan ukhuwah yang dibangun di lembaga dakwah yang satu ini.
Secara sederhana, dalam satu kelompok tarbiyah ini biasanya terdiri dari 5 sampai
10 orang mutarabbi dengan jadwal pertemuan setiap pekan. Sebelum memulai
pelajaran diawali dengan membaca al-quran secara bergilir masing-masing peserta
tarbiyah. Tarbiyah ini terdiri dari tiga kelas atau tingkatan, yaitu ta’rifiyah,
takwiniyah dan tanfidziyah. setelah selesai mempelajari semua materi
di kelas/tingkatan pertama yaitu ta’rif, peserta tarbiyah akan melewati ujian
tertulis / lisan, setelah dinyatakan lulus baru kemudian akan dinaikkan ke
kelas takwin. Begitu seterusnya sampai naik ke kelas tanfidz. Untuk materi
pelajarannya sendiri berbeda-beda di tiap tingkatan, ibaratnya sekolah, pelajaran
kelas satu tentu tidak sama dengan pelajaran kelas 2 dan seterusnya sehingga
dalam tarbiyah pun, peserta tabiyah tidak boleh langsung memilih untuk naik ke
kelas takwin sebelum melewati kelas ta’rif. Bahkan sekalipun telah
melewati kelas ta’rif tapi kalau tidak mengikuti ujian tertulis atau lisan
untuk kenaikan kelas maka tetap tidak boleh dinaikkan, mirip dengan system di
lembaga pendidikan kita di Indonesia. Yang kalaupun ikut dalam pembelajaran
selama dua semester di kelas 1 tapi tidak ikut ujian kenaikan kelas maka tetap
tidak bisa naik ke kelas 2. Termasuk jika tidak lulus. Dalam tarbiyahpun ada
istilah tidak lulus ujian.
Dari sini saya melihat bahwa liqo’ tarbiyah ini menerapkan model
pendidikan yang sangat sistematis dan
terukur. Kenapa bisa, karena yang baru mau belajar ilmu syar’I tentunya akan ditempatkan dikelas awal yang
materinya tentang pengenalan,adab-adab dan dasar-dasar keislaman. Yang belum
bisa mengaji diajari mengaji terlebih dulu. Bayangkan jika seorang yang baru
belajar mengaji langsung diajari tentang jihad fii sabilillah karena langsung
mengikut ke kelas atas tarbiyah?
Model pendidikan islam secara bertahap dalam tarbiyah ini tentunya
bukan tanpa landasan syar’I menurut saya. dalam hadits Bukhari Muslim dimana
Rasulullah sallallahu ‘alahi washallam bersabda kepada Mu’adz ra.
“sungguh kamu akan mendatangi orang-orang ahli kitab (yahudi dan
nashrani), maka hendaklah pertama kali yang harus kamu sampaikan kepada mereka
adlah syahadat Laa Ilaha Illallah, jika
mereka mematuhi apa yang kamu dakwahkan, maka sampaikan kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.
Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah
telah mewajibkan kepada mereka mengeluarkan zakat harta untuk diberikan kepada fakir miskin
diantara mereka. Maka bila mereka menaati, maka terimalah dan berhati-hatilah.
Jangan mengambil harta kesayangan mereka” (HR: Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits tersebut diatas tentunya kita sudah bisa memahami
bahwa, sebelum mengajarkan yang lebih jauh lagi tentang islam maka hal pertama
yang harus diajarkan adalah masalah tauhid, bukan yang selainnya. Bayangkan
jika mereka langsung diajari tentang shalat dan zakat tanpa diajari tauhid
sebelumnya?
Pendidikan atau tarbiyah ini menurut saya merupakan sarana dalam
mendapatkan ilmu syra’i. yang sepengatahuan saya bahwa sarana dihukumi
berdasarkan tujuannya. Jika tujuannya baik maka sarana itu juga baik, begitupun
sebaliknya. Kita mendirikan sarana sekolah untuk mengajarkan peserta didik
tentang cara memb*n*h orang tua tanpa jejak tentunya akan membuat sekolah itu
menjadi sekolah yang buruk dan harus dibubarkan karena tujuannya mengajarkan
keburukan. Kita mendirikan sekolah untuk mengajari peserta didik berlaku sopan
dan mengenal ilmu agama misalnya maka
sekolah ini tentunya harus dipertahankan.
Allah subhanahu wata’ala saja menciptakan alam semesta ini
berjenjang dalam enam masa, padahal tidak ada yang susah bagi Allah untuk
menciptakannya dalam satu masa saja dengan kun fayakun-Nya. Tapi begitulah, berjenjang itu adalah
sunnatullah, anda sendiri tidak langsung setua sekrang.
![]() |
contoh kegiatan tarbiyah |
Dari luar biasanya konsep tabiyah ini menurut saya ternyata masih
ada juga kelompok-kelompok tertentu yang mencela
orang-orang yang bekecimpun dalam dunia tarbiyah ini dengan dalih, “kenapa
harus berjenjang? Ada juga komentar yang mengatakan bahwa liqo’ tarbiyah di
kampus-kampus itu tidak memenuhi syarat dalam menuntut ilmu syar’I karena yang
menjadi murabbinya adalah senior dan yang menjadi mutarabbinya adalah junior,
padahal dalam menuntut ilmu syar’I itu harus pada orang ‘alim dan memang ahli
dalam masalah itu. Wah, ini yang belum saya paham.
Selama mengikuti tarbiyah di kampus, sepengetahuan saya yang menjadi murabbinya itu tetap ustadz-ustadz yang memang berilmu. Akan tetapi jika jadwal ustadz-ustadz ini sudah full untuk mengisi tarbiyah pada kelompok yang baru maka akan ditangani sementara (ingat: sementara) oleh senior yang memang mendapatkan rekomendasi dari murabbi sampai penanggung jawabnya mengusahakan untuk mencari murabbi yang baru yang lebih kompeten, masa iya saya sebagai senior misalnya, tidak bisa mengajarkan cara shalat atau bersuci hanya karena saya bukan ulama?
Selama mengikuti tarbiyah di kampus, sepengetahuan saya yang menjadi murabbinya itu tetap ustadz-ustadz yang memang berilmu. Akan tetapi jika jadwal ustadz-ustadz ini sudah full untuk mengisi tarbiyah pada kelompok yang baru maka akan ditangani sementara (ingat: sementara) oleh senior yang memang mendapatkan rekomendasi dari murabbi sampai penanggung jawabnya mengusahakan untuk mencari murabbi yang baru yang lebih kompeten, masa iya saya sebagai senior misalnya, tidak bisa mengajarkan cara shalat atau bersuci hanya karena saya bukan ulama?
Menurut Syaikh Utsaimin “Tidak dipersyaratkan
bagi seorang da’i harus telah sampai pada derajat ahli ilmu, akan tetapi yang
disyaratkan adalah dia mengetahui apa yang dia dakwahkan. Adapun jika dia
berdakwah dengan kejahilan dan dibangun atas sikap perasaan sentiment, maka ini
tidak boleh”
(sumber: disini).
Saya tidak tahu lah dengan tempat lain, yang jelasnya itu yang
saya ketahui dan terapkan selama menjalankan Lembaga Dakwah di kampusku dulu. Dari tarbiyah
kami jalankan dakwah di kampus, mengenalkan keislam kepada mahasiswa, memperkuat
persaudaraan dan meraih prestasi dikampus.dari tarbiyah kita ditempa, dikampus kita berjuang, disurga kita bersua. insya Allah.
salam tarbiyah, jabat erat.
0 komentar:
Post a Comment